Totalitas Persembahan Hidup
Renungan Doa Pagi
*"TOTALITAS PERSEMBAHAN HIDUP"*
Bapak/Ibu/Saudaraku sekalian yang kekasih,
Kalau Saudara dan saya suatu hari menyaksikan kemuliaan Allah, kedahsyatan Allah, maka akan tahu bahwa semaksimal apa pun yang telah kita lakukan untuk Tuhan, tidak ada artinya dibanding keagungan, kemuliaan Allah yang tiada tara. Ini benar, tidak berlebihan.
Apa pun yang telah kita lakukan
semaksimal apa pun; bangun pagi berdoa, memberikan persembahan uang dalam jumlah besar, atau bahkan seluruh harta kita, kita berikan; jika dibanding dengan kebesaran Allah itu tidak ada artinya. Ini benar.
Tetapi, Tuhan yang baik mau menyambut dan menerima kita. Apa pun dan bagaimana pun keadaan kita, kita diterima. Ini bukan berarti karena Allah menerima apa pun dan berapa pun yang kita persembahkan lalu kita bisa suka-suka kita sendiri. Kita yang mestinya mempersoalkannya di hadapan Allah dan kita benar-benar bertanya kepada Bapa di surga. Apakah hidup kita ini, persembahan hidup kita, pelayanan, pengabdian kita kepada Tuhan ini sudah pantas untuk Dia?
Saya tiap hari bangun pagi, dan nanti besuk, nanti khotbah, aduh. Dan saya juga rela memberikan apa pun yang saya miliki. Apa itu sudah pantas? Belum tentu. Mungkin ada bagian-bagian dalam hidup kita yang belum beres. Ada bagian-bagian kita yang belum kita persembahkan. Karenanya kita memperkarakan ini di hadapan Tuhan. Apa yang kurang lagi Tuhan untuk bisa menyenangkan hati Tuhan? Itulah cara penghormatan yang benar.
Kalau kita berkata, "aku menyembah-Mu Tuhan." Dalam bahasa Ibrani "shakhah" berarti tunduk. Menyembah "proskuneô" artinya memberi nilai tinggi, menghargai atau menghormati. Itu tentu tidak cukup dengan nyanyian dan kata-kata mulut kita, tetapi segenap hati kita yang benar-benar kita persembahkan kepada Tuhan. Dan kalau hati kita, kita persembahkan kepada Tuhan, maka apa pun rela kita lakukan bagi Tuhan.
Tolonglah, kita jangan picik. Jangan berpikir bahwa kesediaan mempersembahkan segenap hidup tanpa batas ini hanya dilakukan oleh orang Kristen. Banyak orang-orang non-Kristen di dalam keyakinan agama mereka, mereka rela memberikan segenap hidup mereka kepada Tuhan. Contoh saja, keyakinan orang-orang yang rela menyerahkan nyawanya menjadi pelaku bom bunuh diri demi apa yang dia yakini, demi pengabdian yang dia mau lakukan. Rela meninggalkan orangtua, punya anak-isteri tidak peduli, menyediakan diri menjadi pelaku bom bunuh diri. Mereka itu menunjukkan kesediaan tanpa batas mempersembahkan hidup ini.
Seberapa kita telah memberikan hidup kita juga tanpa batas? Jangan karena Tuhan menerima apa saja yang kita persembahkan lalu kita sembarangan. Kalau orang-orang di luar orang Kristen, orang-orang di luar gereja bisa mempersembahkan hidupnya tanpa batas untuk yang dia yakini, apakah kita juga meyakini Allah kita Allah yang benar, yang layak menerima segenap hidup kita sebagai persembahan?
Ada orang-orang yang rela tidak menikah, ada orang-orang yang rela menjadi orang miskin tidak berharta, demi yang diyakini, demi kebenaran yang dia yakini, demi junjungan yang mereka sembah. Seberapa kita melakukan ini untuk Tuhan? Mestinya kita malu.
Kalau saya pendeta dan hidup di tengah-tengah para pendeta, sejak muda saya tahu. Saya mengenal orang lain, saya juga mengenal diri sendiri yang kadang-kadang pelayanan bukanlah pengabdian tetapi menjadi profesi. Karena ada upah, kehidupan wajar, bisa menikah, punya fasilitas, bisa punya rumah, belum lagi kehormatan di dalam organisasi dianggap penting, yang dituakan, yang dianggap sebagai terhormat. Kita malu jika membandingkan diri kita dengan mereka yang di luar orang-orang Kristen yang rela tidak menikah, tidak berharta sama sekali, demi apa yang mereka yakini, demi junjungan mereka.
Kalau kita memperhatikan fakta ini, bukan mau mengorek-ngorek borok orang, itu semua borok kita. Terjadinya pertikaian di dalam gereja lokal, pertikaian para pendeta di satu wilayah. Bahkan keributan para pendeta di satu sinode, orang mau menjadi terhormat dalam pemilihan ketua sinode berkampanye mirip seperti para politisi yang berebut roti jabatan, roti kedudukan, yang di dalamnya ada harta, takhta dan mungkin takhta yang lain; malu. Tetapi itulah faktanya yang terjadi di gereja.
Kalau di abad-abad pertengahan pertikaian antar pemimpin gereja sampai kucil mengucilkan, bunuh-membunuh, ada yang dibakar hidup-hidup karena syahwat kekuasaan, karena iri, karena kebencian yang didasarkan perbedaan doktrin; ini semua tindakan-tindakan yang jauh dari standar Kekristenan yang Yesus ajarkan. Itu perilaku kuasa kegelapan, perilaku anak-anak setan. Faktanya begitu.
Kita ini tanpa kita sadari, kita bisa terbawa oleh suasana itu. Apalagi di dunia kita hari ini, masa penampian, di mana orang akan menjadi jahat, jahat sekali, tapi kalau suci, suci sekali. Kita harus memiliki positioning, kita harus memiliki tempat dengan tekad, kita mau all out habis-habisan untuk Tuhan atau tidak usah sama sekali.
Saya mengatakan bukan karena sekadar saya ingin bicara, saya mengalami. Saya sedang bergumul beberapa hari ini saya hampir selalu mengatakan, Saudara yang mempercayai saya sebagai juru bicara Tuhan, sebagai pelayan Tuhan, ayo kita bersama mendengar suara Tuhan ini dan meng-amin-i, ini adalah pesan dari Tuhan. Karena Tuhan Yesus sendiri berkata di Lukas 14:33, "Kalau kamu tidak melepaskan dirimu dari segala milikmu, kamu tak dapat jadi murid-Ku", artinya "kamu tidak bisa Ku ubah, kamu tidak bisa menjadi milik-Ku."
Di dalam Alkitab Perjanjian Baru, banyak menunjukkan kepada kita, bahwa kalau orang ikut Tuhan Yesus, ia harus melepaskan segala sesuatu. "Di mana ada hartamu, di situ hatimu berada. Kamu tak dapat mengabdi kepada dua tuan."
Yang mengerti kebenaran ini, yang berjuang untuk memenuhinya, tidak mudah bisa melakukan. Tidak mudah. Harus masih berjuang dengan sungguh-sungguh. Apalagi kalau Saudara tidak tahu atau tahu tapi tidak mau tahu atau mengerti tetapi tidak mau mengerti. Bahaya. Hidup kita singkat.
Saya bangun jam setengah tiga, sampai sekarang belum tidur. Saya berlutut tadi pagi, saya berdoa: "saya minta Tuhan jadikan aku keharuman di hadapan-Mu, jadikan aku anak kesukaan-Mu." Serius ini, kalau nggak serius saya nggak bangun pagi buta begitu, berlutut. Tetapi itu tidak mudah kualami, tidak mudah kucapai, tidak mudah kuperagakan, tidak mudah kukenakan, begitu sulit. Apalagi kalau Saudara tidak mau tahu, masih tertarik dengan dunia, menyenangi hal-hal dunia.
Biar kita dianggap tidak waras tidak apa-apa. Saya berharap dunia akan segera berakhir kalau Tuhan berkenan. Dan kita akan melihat di pengadilan Tuhan siapa orang benar dan siapa orang tidak benar.
Tuhan Yesus memberkati
Posting Komentar untuk "Totalitas Persembahan Hidup"