Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Resensi Buku: Semakin Dibabat Semakin Merambat


1.      Identitas buku

Judul Buku                  : Semakin Dibabat Semakin Merambat
Penulis                         : Ira C., Ph.D
Penerbit                       : PT. BPK Gunung mulia
Jumlah Halaman          : 205 Halaman
Cetakkan                     : ke-4
Tahun Terbit                : 2001


2.      Ringkasan buku

Bagian I
PENDERITAAN DI DUNIA KAFIR

Dalam buku ini mengisahkan bagimana perjalanan para martir menemui ajalnya. Dalam bagian buku ini terdapat seorang budak wanita yang bernama Blandina, dimana karena imannya kepada Tuhan ia harus disiksa. Tidak hanya sekali dua kali tapi sampai berkali-kali ia disiksa, namun walaupun ia disiksa berkali-laki ia tetap tidak mau menyangkal imannya bahkan ia malahan menjadi menjadi seorang motivator karena hanya ia yang tetap bersemangat meski disiksa. Tuhan juga tidak meninggalkan orang yang begitu taat. Pada suatu kali ia harus disiksa sampai tak berdaya, namun Tuhan memberikan kekuatan kepadanya sehingga keesokan harinya ia bisa pulih seperti semula. Akhirnya ia pun juga harus disiksa dengan cara yang sama pada hari berikutnya, sampai akhirnya Tuhan berkenan memanggilnya.
Dari sekian orang yang bersama-sama dengan dia disiksa waktu itu, hanya dia yang mati dengan digantung supaya dimakan oleh binatang-binatang buas yang telah dilepaskan kedalam stadion. Hanya dia yang mati tergantung seolah-olah disalib sambil berdoa dengan asyik, sehingga mereka yang turut berjuang mendapat dorongan baru untuk mengikuti teladannya. Tentangnya bagaikan seorang ibu bangsawan yang telah terlebih dahulu menasehati dan memberangkatkan anak-anaknya dalam kemenangan kepada raja. Sesudah ia didera, diterkam dan dibakar dalam kuali besar, ia masih harus masuk dalam keranjang dan melawan binatang buas. Semua persekutuannya dengan Kristus menggantikan kesakitannya. Sampai-sampai orang kafirpun heran dan harus mengaku bahwa mereka belum pernah melihat seorang perempuan yang menanggung penderitaan yang begitu berat.


Bagian II
PENDERITAAN DI DUNIA BERAGAMA

Pada tahun 1096-1270 terjadi perang salib yang sangat mencoreng nama baik kekristenan. Keristenan yang awalnya orang-orangnya sangat mengasihi satu sama lain, harus ikut juga menganiaya dan membunuh untuk merebut kembali kota Yerusalem yang dianggap sebagai kota suci. Namun pada tahun 1996-1999 orang-orang Kristen mengakui bahwa perang salib yang terjadi merupakan dosa besar yang telah mereka lakukan, dengan demikian mereka menyesalinya dan memohon ampun pada saudara-saudari dari kalangan Islam dan Yahudi.


Bagian III
PENDERITAAN DI DUNIA MODEREN

Pada sebuah penggalan cerita dalam buku ini terdapat kisah dimana seorang ateis yang mau berkorban dan menolong orang lain dengan memberikan tumpangan kepadanya karena ia tidak mendapat kendaraan  untuk pergi kesuatu kota, namun tindakannya itu malah dihina karena dianggap sebagai seorang Kristen yang berolok-olok.

Pada sebuah perusahaan di Uni-Soviet, akhlak orang krisen dipandang baik karena menguntungkan perusahaan. Tindakan mereka antara lain, yaitu:
1. Mereka hampir tanpa kecuali merupakan pekerja yang trampil, oleh karena itu mereka dihormati.
2. Mereka telah mengatasi problem alkohol, sehingga mereka lebih dipercaya dalam tugas-tugas yang menuntut kesetiaan yang istimewa. Karena mereka yang mengkonsumsi alkohol sering tidak menyelesaikan tugas pekerjaan mereka dengan baik.
3. Mereka bertindak sebagai jurudamai secara konkret ditempat mereka tinggal maupun mereka bekerja, meskipun mereka tidak mau menandatangani resolusi-resolusi perdamaian yang bersifat politik internasional.
4. Mereka tidak membiarkan seorangpun meninggal dunia tanpa menawarkan penghiburan.

Tiga puluh tahun ini: 1949-1979, merupakan bagian kesaksian dari penulis yang menceritakn tentang kehidupannya dimasa-masa sulitnya. Ia harus dipenjarakan dan terpisah dari keluarganya. Bahkan kedua purtinya harus dipisahkan seorang dibawanya ke kota dan seorang lagi boleh tinggal bersama isrtinya.
Pada tanggal 1955 terjadi penangkapan masal terhadap orang-orang yang menentang Gerakan Reformasi Tiga Diri, sehingga penulis sendiripun terpaksa harus ditahan di penjara Komunis di Beijing. Ia termasuk orang yang paling keras kepala soal teologi, karena ia terus menerus berdoa kepada Tuhan meskipun telah dilarang yang menyebabkan akhirnya ia dipindahkan kesebuah kamar sendirian. Ia sangat senang karena disana ia bisa semakin dekat dan leluasa untuk datang kepada Tuhan. Namun lama kelamaan pegawai penjara juga tidak suka terhadap ibadahnya didalam kamar itu dan akhirnya ia dilarang untuk beribadah meskipun hanya untuk berdoa sebelum dan sesudah makan. Seringkali terjadi “penyucian otak dari ideology kuno” yang mengajarkan mereka bahwa “tidak ada Allah” dan seringkali  menyelidiki sejauh mana iman kepercayaan mereka. Setelah beberapa kali dipindah ia akhirnya dibebaskan dan bisa bertemu dengan keluarganya, namun para tetangganya memata-matainya sehingga ketika suatu hari saat ia sedang membaca buku sanstra ia dilaporkan kepasa para pengawal penjara sehingga ia kembali dijebloskan kedalam penjara, bahkan semua buku-buku teologinya dan Alkitabnya disita.
Tahun-tahun berikutnya ia harus diperhadapkan dengan permasalahan ekonomi keluarganya. Anaknya harus bersekolah dengan biaya yang tidak murah, juga ia harus menghidupi keluarganya. Pada masa akhir anaknya bersekolah dijenjang yang setara dengan SMP, anaknya tidak mendapat rekomendasi dari sekolahan yang mengakibatkan ia tidak bisa bersekolah. Tetapi Tuhan membuka jalan sehingga ia mendapat rekomendasi dan dapat bersekolah. Setelah lulus SMA, lagi-lagi anaknya tidak bisa bekerja karena statusnya sebagai orang percaya yang dibenci oleh banyak orang, sehingga anaknya harus menganggur di rumah dan membantu orang tuanya bekerja. Tuhan lagi-lagi tidak membiarkan orang-orang percaya. Anaknya yang tidak diterima bekarja itu sekarang malah diterima disebuah universitas bahkan sekarang keadannya lebih baik dibanding dengan taman-temannya yang telah mendapat pekerjaan. Juga orang tuanya, penulis sendiri akhirnya diundang untuk mengajar bahasa inggris di sebuah universitas kedokteran. Pada hari pertamanya ia mendapat sambutan hangat dari dosan-dosen lain dan para mahasiswa-mahasiswi. Ia merasakan seolah-olah semuanya telah berbalik drastis dengan cepat, itu semua karena Tuhan telah menepati semua janji-janji-Nya.

Pelajaran dan kesimpulan utama, merupakan suatu fakta yang mencolok bahwa sampai sekarang hanya sedikit saja yang telah dipanggil untuk turut menderita bersama para martir, maupun seperti para saudara-saudara yang hidup dalam negara-negara tertentu. Pada bagian kedua juga telah dipelajari bahwa apabila gereja menerima kuasa politik, maka dalam beberapa kasus kuasa itu disalahgunakan. Mungkin agama-agama lain boleh mencampuri imannya dengan urusan-urusan politik, tetapi kita orang-orang percaya tidak boleh. Buku ini juga membuktikan kebenaran judulnya. Semakin lama rakyat kerajaan Roma purba itu menyaksikan penderitaan orang Kristen, semakin banyak dari mereka yang mau menjadi Kristen. Semakin mereka dibabat, semakin banyak mereka berkembang. Darah para martir yang telah mati merupakan bibit-bibit rohani yang menumbuhkan banyak orang-orang percaya bahkan mereka berani mengangung segala konsekuensi yang harus diterima ketika mengikut Kristus.

Joko Prasetyo
Joko Prasetyo Nama saya Joko Prasetyo saya berasal dari kota Kediri, Jawa Timur namun sekarang sedang menempuh pendidikan di Surabaya

Posting Komentar untuk "Resensi Buku: Semakin Dibabat Semakin Merambat"